Morut, Lembo Raya Sulteng – Patroli Hukum Net mengungkapkan permasalahan yang dialami warga Desa Ronta terkait penggusuran lahan kebun karet mereka oleh PT CAN. Penggusuran yang berlangsung sejak tahun 2008 ini telah menyebabkan akses jalan perusahaan memakan lahan seluas 8×70 meter milik Alismen Dansumara dan keluarganya, tanpa adanya ganti rugi yang layak.
Menurut Alismen, penggusuran dilakukan secara paksa tanpa kesepakatan yang jelas. “Saat itu, ayah saya berusaha mempertahankan lahan kami dan hampir saja dipukul oleh pihak perusahaan,” ungkapnya. Alismen menjelaskan bahwa pada malam mediasi yang dilakukan oleh (alm) Ginto Lameanda, mereka sepakat untuk memberikan lahan tersebut kepada perusahaan dengan imbalan kompensasi. Namun, selama 12 tahun penggunaan, perusahaan hanya membayar sekitar 4 juta dari janji satu juta per tahun.
“Dampak penggusuran ini sangat merugikan kami. Tanaman karet yang telah siap panen, serta berbagai tanaman lainnya, menjadi korban dari pembangunan jalan ini,” tambahnya. Ia juga mengungkapkan bahwa tanaman karet yang rusak berjumlah sekitar 30 pohon, ditambah dengan tanaman coklat dan durian yang turut hancur akibat proses pembangunan.
Meskipun Alismen telah meminta PT CAN untuk bertanggung jawab dan mengganti tanaman yang hilang, perusahaan menyatakan tidak ada anggaran untuk ganti rugi, hanya ada insentif. “Kami berharap bisa diakomodasi dengan tanaman sawit sebagai pengganti, tetapi saat kami ke lokasi, hasilnya tidak sesuai harapan,” keluhnya.
Alfirman Manulut, Humas PT CAN, ketika dihubungi, menyatakan tidak ada perjanjian resmi terkait penggunaan lahan tersebut. “Tidak ada kesepakatan yang tercatat,” ujarnya melalui pesan WhatsApp.
Menghadapi ketidakpastian ini, Alismen mencoba berkoordinasi dengan pemerintah daerah Morut melalui Asisten I, Djira.K.S.Pd. M.Pd, berharap ada solusi yang memihak masyarakat. Namun, sampai saat ini, upaya tersebut belum menunjukkan hasil.
Ketidakpuasan masyarakat terhadap respons pemerintah ini memunculkan kekhawatiran bahwa birokrasi saat ini terkesan “mati suri,” lebih mendukung kepentingan investor daripada hak masyarakat. Alismen menegaskan, “Hak saya tetap saya tuntut; tidak ada yang kebal hukum di wilayah NKRI.” (Tim Redaksi)