Surabaya – Aroma skandal besar menyeruak dari pengelolaan Bantuan Keuangan (BK) Desa Tahun Anggaran 2024 di Jawa Timur. Aliansi Pemantau Manajemen Pemerintahan (APMP) Jatim menyebut temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI tentang dugaan kerugian daerah hingga Rp 34,9 miliar sebagai sinyal serius bobroknya tata kelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di era kepemimpinan Gubernur Khofifah Indar Parawansa.
Data yang dihimpun APMP Jatim berdasarkan laporan BPK RI menyebutkan:
– Sebanyak 83 desa penerima BK tidak menyampaikan laporan pertanggungjawaban (LPJ) dengan nilai kerugian mencapai Rp 33,4 miliar.
– 12 desa lainnya ditemukan kekurangan volume pekerjaan dengan potensi kerugian Rp 605 juta lebih.
– Total dugaan kerugian daerah membengkak hingga Rp 34,9 miliar.
Angka tersebut dinilai bukan sekadar catatan administrasi, melainkan indikasi adanya dugaan penyimpangan sistematis yang merugikan uang rakyat.
“Puluhan miliar rupiah uang rakyat lenyap begitu saja. Kalau ini hanya disebut kelalaian, itu sama saja menghina akal sehat publik. Temuan BPK membuka dugaan adanya pola pembiaran sistematis, bahkan pengaturan dalam pengelolaan BK Desa. Pertanyaannya: siapa yang menikmati bancakan anggaran ini?” tegas Acek Kusuma, Direktur APMP Jatim, dalam keterangan persnya di Surabaya, Kamis (…).
Dugaan Kegagalan Fundamental Pengawasan
APMP Jatim menilai skandal ini bukan sekadar persoalan teknis di tingkat desa, tetapi mencerminkan dugaan kegagalan fundamental gubernur dalam fungsi pengawasan. Menurut Kusuma, ketiadaan sanksi terhadap desa yang tidak menyerahkan LPJ maupun kekurangan volume pekerjaan menunjukkan lemahnya kontrol dan potensi kesengajaan.
“Jangan sampai gubernur hanya jadi simbol, sementara aparat di bawahnya bebas memainkan uang rakyat. Ini bukan lagi soal kesalahan administrasi, tetapi menyentuh integritas penyelenggara negara,” ujarnya.
APMP Jatim menyebut dugaan skandal BK Desa 2024 hanyalah “puncak gunung es”. Jika anggaran sebesar itu bisa bocor tanpa pengawasan ketat, publik patut curiga ada pos-pos APBD lain dengan praktik serupa yang belum terungkap.
Desa yang Seharusnya Menerima Manfaat Justru Jadi Korban
Ironisnya, kata APMP Jatim, rakyat desa yang mestinya menikmati pembangunan malah menjadi korban nyata. Banyak infrastruktur yang terbengkalai, jalan rusak tak diperbaiki, dan fasilitas publik mangkrak. Sementara itu, uang negara diduga raib tanpa bekas.
“Kalau ini bukan korupsi, lalu apa namanya? Bagaimana rakyat bisa percaya pada pemerintah jika hak mereka dijarah?” sindir Kusuma dengan nada keras.
Desakan Serius kepada Aparat Penegak Hukum
Atas temuan ini, APMP Jatim mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung untuk segera membuka penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi. Menurut Kusuma, laporan audit BPK RI sudah cukup sebagai pintu masuk penyelidikan hukum.
“Jangan hanya berhenti pada laporan audit. Kalau aparat hukum masih punya wibawa, ini harus segera dinaikkan ke penyelidikan. Jika tidak, publik akan menilai ada dugaan perlindungan politik terhadap praktik korupsi di Jawa Timur,” tegasnya.
Peringatan Keras kepada Pemerintah
Menutup pernyataannya, Kusuma menyampaikan peringatan keras kepada pemerintah provinsi:
“Kasus ini bukan sekadar soal angka. Ini menyangkut kepercayaan rakyat terhadap negara. Jika Rp 34 miliar uang rakyat benar-benar diduga dikorupsi tanpa ada yang dimintai pertanggungjawaban, maka Jawa Timur sedang dipimpin dengan wajah korupsi yang dilindungi kekuasaan. Dan itu adalah pengkhianatan terhadap rakyat.”
(APMP Jatim/Edi D/Tim/Red)