Lampung, Jejakperistiwa.id
-Musik kerap menjadi medium paling jujur dalam menyuarakan keresahan. Methosa, band independen yang dikenal dengan lirik-lirik tajamnya, kembali menggugah pendengar lewat lagu Bangun Orang Waras. Bukan sekadar lantunan nada, lagu ini adalah tamparan bagi mereka yang masih terbuai dalam ilusi kesejahteraan. Dengan lirik yang lugas dan tanpa basa-basi, Methosa mengajak pendengarnya untuk membuka mata, melihat kenyataan, dan mempertanyakan banyak hal yang selama ini dianggap biasa.
Kritik Tajam dalam Nada
Dari bait pertama, Methosa tak ragu menyuarakan keresahannya: “Hei bangun orang waras, demokrasi sudah basi…” Sebuah pernyataan yang menohok, mengisyaratkan bahwa sistem demokrasi yang diagung-agungkan kini terasa hambar dan kehilangan makna. Demokrasi, yang seharusnya menjadi alat perjuangan rakyat, justru semakin menjauh dari esensi sejatinya.
Dari bait pertama, Methosa tak ragu menyuarakan keresahannya: “Hei bangun orang waras, demokrasi sudah basi…” Sebuah pernyataan yang menohok, mengisyaratkan bahwa sistem demokrasi yang diagung-agungkan kini terasa hambar dan kehilangan makna. Demokrasi, yang seharusnya menjadi alat perjuangan rakyat, justru semakin menjauh dari esensi sejatinya.
Lirik-lirik berikutnya membawa pendengar masuk lebih dalam ke berbagai persoalan yang terjadi di negeri ini. “Hey pak petani, pupuk mahal cuma modus! Agar beras impor jalannya bisa mulus…” menjadi sindiran keras terhadap kebijakan yang menyulitkan petani. Begitu pula dengan kondisi tenaga pendidik yang diungkap dalam lirik: “Hey pak guru, pengangkatanmu tak diurus! Agar gaji tetap kecil terus-menerus…” Sebuah realitas pahit yang kerap menjadi keluhan para guru honorer.
Lagu ini juga menyinggung isu yang tak kalah penting: perampasan lahan adat. “Hutan adat itu rumah kami, dijual kini… Ratusan tahun kami sudah di sini, sekarang menjadi lahan sawit oligarki…” Kritik yang menyoroti dampak eksploitasi lahan dan bagaimana kekuatan modal sering kali lebih diutamakan dibanding hak masyarakat adat.
Methosa juga menyentil realitas generasi muda yang dihadapkan pada ketidakpastian masa depan. “Hey pemuda! Sudahkah kau dapat kerja? Modal ijazah atau dibantu ayah…” Sebuah gambaran bagaimana sulitnya mencari pekerjaan di tengah persaingan yang semakin ketat. Tak ketinggalan, nasib buruh pun disentil dalam lirik “Hey, hey, hey, hey para buruh sudahkah kau beli susu? Juga lauk pauk untuk anak istrimu…” Sebuah potret betapa sulitnya memenuhi kebutuhan hidup dengan upah yang rendah.
Repetisi dalam bagian reff, “Yo iyo iyo iyo bangun orang waras”, terasa seperti mantra yang terus mengingatkan pendengarnya untuk sadar. Lagu ini bukan hanya sekadar hiburan, tetapi juga panggilan untuk bertindak
Gaung di Tengah Masyarakat
Sejak dirilis, Bangun Orang Waras mendapat sambutan luas dari berbagai kalangan. Banyak yang merasa Methosa berhasil menyuarakan kegelisahan mereka. Media sosial dipenuhi dengan komentar yang mengapresiasi keberanian band ini dalam berbicara tentang isu-isu sensitif.
“Lagu ini benar-benar menggambarkan apa yang kita alami sekarang. Rasanya seperti Methosa bicara langsung mewakili suara rakyat kecil,” ujar seorang pendengar di kolom komentar YouTube.
Namun, ada pula yang menganggap kritik Methosa terlalu tajam dan tendensius. Beberapa pihak merasa bahwa lirik-lirik dalam lagu ini bisa menimbulkan ketegangan sosial. Meski demikian, hal ini justru membuktikan bahwa Methosa telah berhasil menciptakan diskusi publik yang penting.
Di berbagai platform musik digital, lagu ini mendapat banyak ulasan positif. Para pendengar mengapresiasi Methosa bukan hanya karena musikalitasnya, tetapi juga karena keberanian mereka dalam mengangkat isu-isu sosial yang kerap diabaikan.
Methosa: Musik Sebagai Perlawanan
Methosa bukanlah nama baru di dunia musik independen. Band ini dikenal dengan gaya bermusik yang penuh energi serta lirik-liriknya yang sarat kritik sosial. Tanpa takut kehilangan pendengar, mereka tetap konsisten mengusung tema-tema yang dekat dengan realitas masyarakat.
Dengan lagu-lagu seperti Bangun Orang Waras, Methosa membuktikan bahwa musik bisa lebih dari sekadar hiburan. Musik bisa menjadi alat perlawanan, penyadaran, dan bahkan revolusi kecil dalam pikiran setiap pendengarnya.
Methosa telah menyuguhkan cermin besar bagi kita semua. Tinggal pertanyaannya, apakah kita cukup berani untuk melihat pantulan diri kita di dalamnya?
(Red)