GRESIK – Beberapa Kepala Desa di Kabupaten Gresik kini terjebak dalam kontroversi terkait alokasi anggaran dari APBDes yang diduga digunakan untuk membiayai keanggotaan Komunitas Wartawan Gresik (KWG) dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Meskipun tujuan awalnya adalah untuk melindungi reputasi mereka dari pemberitaan negatif, justru banyak laporan yang mengindikasikan bahwa tindakan tersebut malah memperburuk citra mereka.
Kepala Desa yang menjadi anggota KWG harus membayar sekitar Rp 10 juta per tahun, yang diklaim sebagai biaya untuk “Terciptanya Sistem Informasi Desa”. Jumlah ini diduga dialokasikan untuk mendukung dua organisasi pers, yakni KWG dan PWI. Jika dihitung, dengan 330 desa di Gresik, total anggaran yang mungkin dialokasikan untuk kedua organisasi ini bisa mencapai Rp 118,8 miliar selama enam tahun masa jabatan Kepala Desa.
Dokumen yang diterima redaksi mengungkapkan adanya pembagian wilayah di bawah koordinasi KWG untuk melindungi Kepala Desa. Beberapa nama anggota KWG, termasuk Ketua KWG Miftahul Arif, disebutkan sebagai koordinator desa. Miftahul Arif diduga menangani beberapa desa, termasuk Desa Sembayat dan Desa Pandaan.
Namun, beberapa Kepala Desa mengungkapkan kekecewaan mereka terhadap layanan yang diterima. Mereka mengatakan bahwa meskipun telah membayar biaya keanggotaan, mereka masih sering mengalami gangguan dari media lain. Salah satu Kepala Desa mengonfirmasi bahwa mereka membayar Rp 5 juta per tahun untuk dukungan KWG, tetapi merasa tidak mendapatkan perlindungan yang dijanjikan.
Indra Susanto, Ketua Generasi Muda Peduli Aspirasi Masyarakat Jawa Timur, menilai bahwa penggunaan anggaran APBDes untuk KWG adalah bentuk penyalahgunaan wewenang. Dia mengingatkan bahwa dana tersebut berasal dari pajak rakyat dan harus dipertanggungjawabkan kepada publik. Indra juga mengkritik sikap Ketua KWG yang meremehkan media luar KWG, yang menurutnya tidak seharusnya terjadi.
Miftahul Arif, ketika dihubungi untuk memberikan klarifikasi mengenai masalah ini, memilih untuk tidak berkomentar. Situasi ini mencerminkan ketegangan yang berkembang antara pemerintah desa dan media, serta menyoroti perlunya transparansi dalam pengelolaan anggaran desa dan hubungan dengan organisasi pers. (**)