Bandar Lampung, Jejakperistiwa.id-Puluhan aktivis dari berbagai organisasi masyarakat sipil di Provinsi Lampung menggelar aksi unjuk rasa di dua titik, Kantor Balai Pelaksana Prasarana Permukiman Wilayah (BPPW) dan Kantor Gubernur Lampung. Mereka menyuarakan kemarahan atas dugaan praktik korupsi dalam sejumlah proyek pembangunan yang dikelola oleh BPPW Lampung, dan persoalan Gas uang dikelola Patra Niaga.
Massa aksi yang tergabung dalam Aliansi Lembaga Anti Korupsi (ALAK) menilai bahwa proyek-proyek yang dibiayai dari anggaran negara, terutama dari APBN, menunjukkan indikasi kuat penyimpangan. Proyek-proyek tersebut dinilai tidak sesuai spesifikasi teknis, volume pekerjaan dikurangi, mutu pembangunan rendah, dan pelaksanaannya sarat praktik kolusi dan nepotisme.
Koordinator lapangan aksi, Rian Bima Sakti, menyebut sejumlah proyek bernilai miliaran rupiah yang dinilai bermasalah, antara lain proyek penanganan kemiskinan ekstrem di Desa Tanjung Agung, Kecamatan Teluk Pandan, Kabupaten Pesawaran dengan nilai kontrak Rp 7,6 miliar, pembangunan IPA dan jaringan perpipaan SPAM IKK Way Ratai di Pesawaran senilai Rp 11,4 miliar, serta proyek pembangunan sarana septik dan sarana pendukung di Lampung Utara dan Lampung Tengah senilai masing-masing Rp 22,6 miliar dan Rp 29,4 miliar.
Dalam orasinya, Rian menegaskan bahwa praktik pengurangan volume, pelanggaran spesifikasi teknis, serta lemahnya pengawasan di lapangan telah menjadi pola yang berulang dari proyek-proyek tersebut. Ia juga menyoroti peran konsultan pengawas yang dinilai tidak menjalankan fungsinya secara profesional dan malah diduga ikut bermain bersama kontraktor.
Ketua LSM TEMPE, Mayluddin, menambahkan bahwa konsultan pengawas dan pejabat balai diduga telah menjalin kedekatan dengan pihak kontraktor sehingga terjadi pembiaran terhadap pelanggaran-pelanggaran teknis di lapangan. Menurutnya, meskipun proyek berada di bawah naungan Kementerian PUPR, Gubernur Lampung tidak bisa lepas tangan karena proyek-proyek itu berlangsung di wilayahnya.
Mayluddin juga menyoroti persoalan lain yang tidak kalah mendesak, yakni kekacauan dalam distribusi gas LPG 3 kg bersubsidi yang dikelola oleh Pertamina Patra Niaga. Ia menyebut bahwa kelangkaan gas, harga yang melampaui HET, serta adanya pungutan liar sebesar Rp 4.250 per tabung di tingkat pangkalan adalah bentuk pengabaian terhadap hak rakyat kecil.
Aliansi ALAK dalam tuntutannya meminta agar Kejaksaan Tinggi Lampung segera memulai penyelidikan terhadap proyek-proyek di bawah BPPW Lampung, mencopot Kepala Balai, PPK, PPTK, dan pejabat proyek lainnya yang terlibat, serta menuntut evaluasi total terhadap Pertamina Patra Niaga. Mereka juga mendesak agar SK Gubernur Lampung terkait kenaikan HET LPG 3 kg segera dicabut, karena dianggap menyengsarakan rakyat kecil dan melanggar semangat subsidi.
Aksi yang berlangsung damai ini diikuti oleh LSM GEDOR, TEMPE, KILAT, dan LEMPARTA. Mereka membawa spanduk bertuliskan “Tegakkan Keadilan! Bongkar Korupsi Infrastruktur!” dan menyerukan keterlibatan masyarakat sipil dalam pengawasan setiap pelaksanaan proyek pemerintah.
Rian Bima Sakti menutup aksinya dengan pernyataan keras bahwa jika aparat penegak hukum tetap diam, maka masyarakat akan terus bergerak dan turun ke jalan untuk menuntut keadilan. Aksi ini menjadi cermin dari kemuakan publik terhadap praktik penyimpangan anggaran di tubuh birokrasi vertikal.
Beni