Demak, Jawa Tengah – Potret memilukan dari dunia pendidikan kembali mencuat ke permukaan. Seorang guru madrasah diniyah (madin) di Desa Ngampel, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Demak, harus menanggung beban berat atas tindakan disipliner yang seharusnya menjadi bentuk pembinaan. Ironisnya, sang guru justru dipaksa membayar denda sebesar Rp25 juta kepada wali murid, usai memberikan tamparan ringan sebagai teguran atas perilaku siswa.
Peristiwa ini menyulut reaksi publik setelah potret sang guru yang tampak pilu tersebar luas di media sosial. Dalam keterangannya, guru tersebut mengaku terpaksa menjual satu-satunya sepeda motor miliknya demi menebus tuntutan denda yang diajukan oleh wali murid. Tak hanya merasa dipermalukan, ia juga mengaku kecewa dengan pudarnya penghargaan terhadap peran guru di tengah masyarakat.
“Tamparan itu bukan karena benci, tapi karena ingin mendidik. Tapi sekarang saya harus menanggung malu dan beban materi. Saya tidak sanggup, tapi harus saya jalani,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Kasus ini menuai beragam respons dari masyarakat. Banyak pihak menyayangkan tindakan wali murid yang dinilai berlebihan, serta mempertanyakan ke mana arah penghormatan terhadap profesi guru yang selama ini menjadi garda terdepan dalam membentuk karakter bangsa.
“Ini bukan sekadar perkara hukum, tapi soal nilai dan moral kita dalam memandang guru. Di mana letak keadilan bagi mereka yang mengabdi tanpa pamrih?” ujar salah satu tokoh masyarakat setempat.
Di sisi lain, kasus ini juga menjadi refleksi mendalam bagi dunia pendidikan. Antara batas pembinaan dan kekerasan, serta bagaimana mekanisme penyelesaian konflik antara guru dan wali murid seharusnya dijalankan secara adil, bijaksana, dan manusiawi.
Hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi dari pihak berwenang terkait langkah penyelesaian atau pendampingan hukum terhadap guru tersebut. Namun, solidaritas mulai muncul dari berbagai kalangan yang berharap agar sang guru mendapatkan keadilan serta pemulihan nama baik.
Momen ini seharusnya menjadi peringatan bersama bahwa guru bukanlah musuh. Mereka adalah pelita di tengah gelapnya zaman. Ketika penghormatan terhadap guru mulai hilang, kita patut bertanya: bagaimana nasib masa depan generasi yang mereka didik?