**Sukapura, Probolinggo** — Menindaklanjuti pemberitaan yang berkembang di berbagai media online mengenai dugaan kisruh antrean panjang serta manipulasi tiket di loket utama Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) di Dusun Cemorolawang, Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, tim investigasi gabungan dari beberapa media online melakukan penelusuran langsung ke lokasi. Investigasi ini bertujuan untuk menggali informasi lebih dalam mengenai situasi yang dihadapi wisatawan, baik lokal maupun mancanegara, saat mengakses kawasan wisata ini.
Mulai pukul 01.30 hingga 04.30 WIB pada hari Sabtu (2/11/24), antrean panjang terlihat di loket utama TNBTS, yang menjadi pintu gerbang menuju lautan pasir Gunung Bromo. Tim investigasi memantau penerapan sistem tiket baru yang mewajibkan wisatawan menggunakan barcode untuk memasuki kawasan tersebut. Lasman, seorang petugas loket yang ditemui oleh tim investigasi, menjelaskan bahwa sistem barcode ini merupakan implementasi dari Peraturan Pemerintah (PP) yang diinisiasi oleh Kepala TNBTS. “Setiap wisatawan harus menunjukkan barcode untuk masuk ke lautan pasir Gunung Bromo,” ujarnya.
### Kendala dalam Sistem Barcode
Meskipun sistem ini bertujuan untuk memperlancar proses masuk, tim investigasi menemukan beberapa kendala. Wisatawan kini tidak lagi memegang tiket fisik; sebaliknya, barcode tersebut dipegang oleh sopir pelaku usaha. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terkait identifikasi penumpang jika terjadi insiden, seperti kecelakaan, karena nomor seri asuransi tidak tercantum pada penumpang secara individu. “Setiap penumpang hanya tercatat dalam barcode yang dipegang sopir. Ini bisa menimbulkan masalah serius jika ada insiden,” ungkap salah seorang anggota tim investigasi.
### Aspirasi dan Keluhan Masyarakat
Sunaryono, Kepala Desa Ngadisari, menyampaikan berbagai keluhan terkait dampak dari membludaknya pengunjung. Ia menyatakan bahwa pemerintah desa tidak mendapatkan kontribusi dari TNBTS meskipun dampak negatif dari antrean panjang sangat dirasakan oleh masyarakat. “Antrean panjang menghambat aktivitas warga yang ingin ke ladang. Selain itu, sampah yang berserakan di sekitar Seruni Point, terutama di lahan milik warga, menjadi beban bagi kami yang harus membersihkannya tanpa bantuan dari TNBTS,” tegasnya. Pemerintah desa berharap TNBTS dapat memberikan solusi nyata untuk permasalahan kemacetan dan kebersihan ini.
Sejumlah warga juga mengeluhkan kurangnya kontribusi dari TNBTS dalam hal kebersihan lingkungan dan penanganan kemacetan. Mereka meminta perhatian lebih dari TNBTS terhadap kesejahteraan dan kenyamanan warga sekitar, mengingat peran penting Desa Ngadisari dalam mendukung berbagai ritual dan penanganan situasi darurat di kawasan Gunung Bromo.
### Dugaan Manipulasi dan Kelemahan Sistem
Budi Santoso, Kepala Resort TNBTS, mengakui bahwa satu rombongan wisatawan hanya diberikan satu barcode yang di-scan di loket masuk. “Memang metode baru ini menimbulkan kendala, dan kami sedang berupaya agar pemesanan tiket dilakukan jauh-jauh hari untuk menghindari kemacetan,” ujarnya. Namun, tim investigasi mencurigai adanya praktik manipulasi. Seorang oknum terlihat keluar-masuk loket dengan membawa beberapa barcode, diduga membantu sopir yang tidak memiliki fasilitas M-Banking untuk memesan tiket.
Saat ditanya tentang kemungkinan keuntungan pribadi dari praktik ini, Budi hanya menyatakan bahwa pihaknya akan menjadikannya sebagai bahan evaluasi ke depan. Kendala lainnya adalah kurangnya pengecekan terhadap jumlah penumpang di dalam kendaraan pelaku usaha, sehingga ada kemungkinan jumlah penumpang dalam satu kendaraan tidak sesuai dengan data yang tertera pada barcode. Pihak TNBTS berjanji akan mengevaluasi sistem dan mengantisipasi celah yang bisa dimanfaatkan oleh oknum tertentu.
### Pendapat dari Sopir Pelaku Usaha
Seorang sopir pelaku usaha, yang enggan disebutkan namanya, menyarankan agar agen perjalanan memesan tiket lebih awal untuk menghindari kemacetan. “Sebenarnya agen travel yang harus lebih paham jadwal dan jumlah wisatawan, sehingga tidak menumpuk di hari yang sama,” ujarnya. Dia mengungkapkan pengalaman buruknya, di mana dia harus mengantri tanpa penumpang dari pukul 02.30 hingga 06.00 WIB pagi hanya untuk melewati loket TNBTS.
Ia juga mengkritik kurangnya pelatihan bagi sopir jip yang berdampak pada pemahaman keselamatan dan pelayanan. “Dulu pernah ada pelatihan sekitar lima tahun yang lalu sebelum Bromo meletus, tapi sekarang sudah jarang. Padahal, kelayakan kendaraan dan pelatihan bagi sopir sangat penting,” tambahnya.
### Harapan untuk Perbaikan
Menanggapi kondisi ini, warga Desa Ngadisari berharap pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Kabupaten Probolinggo turun tangan untuk memberikan solusi jangka panjang. Mereka meminta adanya perhatian khusus bagi Desa Ngadisari dalam peningkatan pengelolaan kawasan wisata TNBTS. Selain itu, tim investigasi gabungan media akan terus mengawal perkembangan isu ini, mendorong dinas terkait untuk lebih memperhatikan dan mengontrol sistem pengelolaan di TNBTS, serta berharap untuk turun langsung ke lokasi agar memahami situasi yang sebenarnya.
Pihak TNBTS juga menyatakan bahwa masukan dari masyarakat dan media akan dijadikan evaluasi untuk meningkatkan pelayanan di kawasan wisata Gunung Bromo di masa mendatang. Dengan harapan bahwa isu-isu ini segera terpecahkan dan praktik manipulasi yang merugikan dapat dihilangkan, serta retribusi yang tepat sasaran dapat bermanfaat bagi masyarakat melalui anggaran dana desa atau anggaran lainnya.
**Bersambung…**
*(Tim Investigasi Gabungan Media Online/**)*