Sorong, Papua Barat Daya – Komisi XIII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) melakukan kunjungan kerja masa reses dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan dan penguatan sistem hukum, hak asasi manusia (HAM), keimigrasian, dan pemasyarakatan di kawasan strategis Indonesia timur, bertempat di Hotel Aston, Kota Sorong, Kamis (19/6/2025).
Kunjungan ini diawali dengan sambutan dari Gubernur Papua Barat Daya, Elisa Kambu, S.Sos, yang menekankan pentingnya tata kelola pemerintahan yang baik dan penghormatan terhadap martabat masyarakat Papua. Gubernur menyampaikan bahwa Papua Barat Daya sebagai provinsi termuda di Indonesia menghadapi tantangan unik akibat kondisi geografis, sosial, dan historis yang berbeda dari wilayah lain.
“Kami harapkan kehadiran Komisi XIII DPR RI dapat memberikan pemahaman langsung atas kebutuhan masyarakat kami. Tantangan pembangunan, alokasi fiskal yang belum merata, serta keterbatasan infrastruktur membuat kami perlu perlakuan yang adil dan kebijakan yang berpihak,” ungkap Elisa.
Ia juga menyinggung pentingnya Papua Barat Daya menjadi embarkasi haji untuk wilayah Papua, mengingat saat ini jamaah haji masih harus melalui Makassar yang memakan waktu dan biaya besar.
Ketua Tim Komisi XIII, Dr. Andreas Hugo Parera, menyampaikan bahwa kunjungan ini bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas pelaksanaan fungsi negara di bidang hukum, HAM, imigrasi, dan pemasyarakatan di provinsi baru ini. Andreas menyoroti pentingnya memperkuat pelayanan publik dan memberikan perlindungan hukum terutama kepada kelompok rentan.
“Kondisi geografis Papua yang kompleks menuntut strategi khusus. Kami ingin menyerap langsung aspirasi pemerintah daerah dan masyarakat untuk kemudian merumuskan kebijakan yang lebih tepat sasaran,” ujar Andreas.
Paparan Lembaga Terkait
1. Kanwil Kemenkumham Papua Barat Daya, diwakili oleh Kakanwil Piter, memaparkan sejumlah program seperti penyuluhan hukum gratis, pendampingan kepada masyarakat adat, serta pentingnya memperkuat struktur hukum lokal yang responsif terhadap kebutuhan daerah terpencil. Ia menyebutkan bahwa keterbatasan akses hukum dan administrasi masih menjadi tantangan utama.
2. Kantor Imigrasi, menyampaikan perlunya penetapan pelabuhan laut Sorong sebagai Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) serta penunjukan Bandara DEO Sorong sebagai bandara internasional demi mendukung pariwisata dan pelayanan keimigrasian yang memadai.
3. Kanwil Lapas Papua Barat Daya mengungkapkan kondisi sarana-prasarana lapas yang belum memenuhi standar. Kelebihan kapasitas warga binaan, rasio petugas yang rendah, serta keterbatasan fasilitas untuk perempuan dan anak menjadi sorotan. Pihaknya juga tengah mengembangkan program pelatihan kerja dan pemasaran produk hasil binaan narapidana.
4. Direktorat Jenderal HAM, memaparkan bahwa hingga Semester I tahun 2025 terdapat 40 kasus dugaan pelanggaran HAM di wilayah Papua Barat Daya. Sebagian besar berupa kekerasan bersenjata, penganiayaan, hingga konflik sosial yang dipicu oleh aktivitas pertambangan dan pengadaan tanah. Pemerintah pusat diharapkan lebih aktif dalam mediasi dan penyelesaian kasus dengan pendekatan dialog kemanusiaan.
Komisi XIII juga menyoroti pentingnya pendekatan berbasis kesejahteraan, bukan sekadar keamanan, dalam menangani berbagai permasalahan sosial di Papua Barat Daya. Keberadaan kelompok sipil bersenjata dan kasus kekerasan struktural menuntut respons yang lebih sensitif terhadap akar masalah.
Andreas Hugo menyatakan bahwa kolaborasi lintas kementerian dan lembaga sangat dibutuhkan. Rekomendasi dari kunjungan ini diharapkan menjadi dasar bagi DPR RI dalam mendesak pemerintah pusat untuk:
Meningkatkan anggaran dan kebijakan afirmatif bagi provinsi baru seperti Papua Barat Daya.
Mempercepat legalisasi TPI dan status bandara internasional di Sorong demi mendukung konektivitas dan ekonomi.
Memperkuat pelayanan hukum gratis dan reformasi sistem peradilan di wilayah-wilayah terpencil.
Mendorong penanganan kasus HAM secara transparan dan adil, serta memperluas program perlindungan bagi masyarakat adat dan kelompok rentan.
Kegiatan ini ditutup dengan komitmen bersama antara DPR RI, Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya, serta instansi teknis untuk terus meningkatkan kualitas pelayanan publik dan menjadikan Papua Barat Daya sebagai provinsi yang setara dalam pembangunan nasional.
“Kunjungan kerja ini bukan sekadar formalitas. Ini adalah langkah konkret untuk mendengar, mencatat, dan mendorong perubahan,” tegas Andreas.
Dengan kolaborasi yang erat, diharapkan Papua Barat Daya dapat segera mengejar ketertinggalan dan menjadi provinsi yang kuat dalam penegakan hukum, penghormatan HAM, serta tata kelola pemerintahan yang inklusif dan berkeadilan.
(Timo)