banner 728x250

Polemik Ijazah Jokowi: Dimulai dari UGM, Jokowi Ajak Publik Telusuri Ijazah Palsu

Polemik Ijazah Jokowi: Dimulai dari UGM, Jokowi Ajak Publik Telusuri Ijazah Palsu
banner 120x600
banner 468x60

Meskipun pihak Universitas Gadjah Mada (UGM) dan mantan Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah memberikan klarifikasi resmi terkait keaslian ijazah Presiden Joko Widodo (Jokowi), isu ini masih menjadi perdebatan di ruang publik. Bahkan, dua tokoh yang sempat mengangkat isu ini—Bambang Tri dan Nur Sugik—telah dijatuhi hukuman pidana karena dianggap menyebarkan fitnah. Namun, ironi terjadi ketika justru pernyataan Jokowi sendiri yang memicu gelombang baru keraguan terhadap keaslian dokumen akademiknya.

Dalam sebuah acara di kampus UGM, Jokowi dengan penuh percaya diri menyatakan bahwa skripsinya dibimbing oleh seorang dosen bernama Kasmojo. Pernyataan ini justru menjadi petunjuk awal bagi publik untuk menelisik lebih jauh validitas ijazah yang bersangkutan.

banner 325x300

Kecurigaan pun bermula dari perbedaan usia yang tidak terpaut jauh antara Jokowi dan Kasmojo, yang menimbulkan tanda tanya: mungkinkah seseorang dengan usia sebaya menjadi dosen pembimbing skripsi? Maka publik pun mencari dan menemukan salinan skripsi asli. Di sanalah muncul fakta baru—tertulis jelas bahwa dosen pembimbingnya adalah Soemitro, bukan Kasmojo.

Kisruh semakin berkembang saat anak dari dosen yang bersangkutan mengoreksi bahwa nama sebenarnya adalah “Sumitro”, bukan “Soemitro”, dan bahkan mempertanyakan keaslian tanda tangan dalam dokumen tersebut. Temuan ini membuat netizen makin aktif melakukan verifikasi mandiri.

Lebih jauh lagi, sejumlah pengamat dan aktivis digital menemukan berbagai kejanggalan teknis: jenis font yang tidak sesuai zaman, logo UGM yang diduga tidak autentik, nomor ijazah yang tidak standar, hingga materai dan cap stempel yang dinilai tidak lazim. Semua temuan ini membuat sebagian kalangan semakin yakin bahwa ijazah tersebut bermasalah, bahkan diyakini palsu.

Ketidakkonsistenan pernyataan dari pihak UGM juga memperkeruh suasana. Di satu sisi dikatakan bahwa ijazah Jokowi sempat hilang, namun di sisi lain, kuasa hukum menyatakan siap menunjukkannya di pengadilan. Publik pun bertanya-tanya: mana yang benar?

Netizen menyimpulkan, jika skripsi dianggap tidak valid, maka ijazah yang diterbitkan sebagai hasil akademik dari skripsi tersebut juga patut dipertanyakan keasliannya. Dan ironisnya, semua benang merah ini justru dirajut sendiri oleh pernyataan Presiden.

Dalam konteks hukum, publik berhak mempertanyakan keaslian dokumen milik seorang pejabat publik, apalagi Jokowi telah menjabat sebagai Walikota, Gubernur, dan Presiden. Kecurigaan terhadap integritas akademik bukanlah bentuk kebencian, melainkan bagian dari kontrol rakyat terhadap pemimpinnya.

Pakar forensik digital seperti Roy Suryo dinilai lebih pantas mengungkap kebenaran lewat kajian teknologi dokumen, bukan aparat atau kelompok-kelompok yang dituding hanya berfungsi sebagai alat kekuasaan. “Ini negara hukum, bukan negara kekuasaan,” seru sejumlah tokoh sipil.

Jika masyarakat biasa bisa dipenjara karena memalsukan ijazah, maka seorang mantan Presiden pun harus tunduk pada hukum yang sama. Jika terbukti palsu, gelar dan hak sebagai mantan kepala negara seharusnya dicabut, karena dasar legitimasi kekuasaannya menjadi batal demi hukum.

Tak berhenti di sana, muncul desakan agar seluruh gaji, tunjangan, hingga dana negara yang digunakan selama menjabat harus dikembalikan. Bahkan, ada yang menuntut agar seluruh utang negara yang terjadi selama masa jabatannya menjadi tanggung jawab pribadi.

Isu ini bukan lagi sekadar soal dokumen, tapi menyentuh inti integritas dan moralitas seorang pemimpin. Apakah hukum akan tetap tajam ke bawah dan tumpul ke atas, atau kali ini keberanian publik akan mampu menembus tembok kekuasaan?

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *